This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Daftar Blog Saya

Powered By Blogger

Baca Manga Komik Naruto|One Piece|Bleach|Fairy Tail|Hunter X Hunter|Conan Indo|Mangacan

Jumat, 09 Mei 2014

Hadits Shahih Tentang Perkara Bid'ah


Hadits-Hadits Tentang Bid’ah







Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah’”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)
Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:
يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.
Wallahu’alam.

Pernyataan Dan Sanggahan Tahdzir Ahlussunnah Salafus shaleh




Judul yang beredar di internet :
((Kabar Gembira Untuk Salafiyyin di Indonesia …. Nasehat Al-’Allamah Rabi’ tentang Masalah Manhajiyyah di Indonesia)). (lihathttp://dammajhabibah.net/2013/09/26/kabar-gembira-untuk-salafiyyin-di-indonesia-nasehat-al-allamah-rabi-tentang-masalah-manhajiyyah-di-indonesia/)

Ternyata fatwa Syaikh Robii' Al-Madkholi telah lama dinanti-nanti, sehingga dianggap kabar gembira. Ternyata mereka –para tukang tahdzir- menyatakan kegembiraan mereka dengan ditahdzirnya Radiorodja. Allahul Musta'aan.



Berikut Pernyataan Syaikh Robi tentang Radiorodja

1. Asy-Syaikh Rabi’ berkata, “Barangsiapa yang masih menghormati manhaj dan aqidahnya maka hendaknya dia tidak mendengar mereka (radio Rodja), adapun barangsiapa yang tidak menghormati manhaj dan aqidahnya, maka silakan dia mendengarkannya.”

2. Asy-Syaikh Rabi’ berkata, “Aku nasehatkan kepada ikhwah agar menjauhkan diri dari mendengarkan radio Rodja.”

3. Kemudian beliau (asy-Syaikh Rabi’) mengingatkan kami dengan atsar dari Ayyub as-Sakhtiyani dan Muhammad bin Sirin tentang sikap tidak mau mendengar ucapan ahlul bid’ah, yaitu tatkala ada seorang ahlul bid’ah mengatakan kepadanya, “Aku akan bacakan kepadamu satu ayat.” Maka keduanya menjawab, “Tidak.”

4. Kitab-kitab salaf sudah mencukupi kita dari mendengarkan radio Rodja dan segala isinya.

5. Radio Rodja menyebabkan terjadinya perselisihan antar salafiyyin. maka beliau memerintahkan untuk meninggalkannya.

6. Ihyaut Turats, ‘Ali Hasan, dan Abul Hasan, adalah di antara pihak-pihak yang paling keras permusuhannya terhadap ahlus sunnah.

7. Orang-orang awam tetap harus diperingatkan dari bahaya radio Rodja. Karena salaf dulu juga mentahdzir orang awam dari bahaya ahlul bid’ah.

8. Tentang Yazid Abdul Qadir Jawwas, salah satu tokoh besar Rodja

Asy-Syaikh Rabi’ menyatakan bahwa Yazid hanya sekedar memakai baju salafiyyah.Beliau tidak ridho kalau dikatakan Yazid adalah salafi, ataupun salafi goncang.

9. Tentang Turut Andilnya asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq di radio Rodja

Asy-Syaikh Rabi’ menegaskan bahwa hal ini tidaklah menjadi justifikasi (pembenaran) untuk mendengarkan Rodja.Kata beliau, asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq tertipu dengan mereka (para turatsiyyin).

10. Tentang Para Pengisi di Radio Rodja

Ketika disebutkan, bahwa para pengisi Rodja menetapkan manhaj salaf, maka asy-Syaikh Rabi’ menjelaskan bahwa urusan mentabdi’ seseorang tidak musti bahwa semua yang ada pada diri si mubtadi‘ bertentangan dengan manhaj salaf, dan kondisinya jelas seratus persen ibarat matahari seperti Safar, Salman, ‘Ali Hasan, dan Abul Hasan. Ya’qub bin Syaibah dibid’ahkan oleh para ‘ulama hanya karena satu perkara. Seseorang terkadang keluar dari salafiyyah karena satu perkara!!





SANGGAHAN

PERTAMA : Pendengar Radiorodja Tidak Menghormati Manhaj dan Aqidahnya !!

Asy-Syaikh Robi' Al-Madkholi berkata :

الَّذِي يَحْتَرِمُ مَنْهَجَهُ وَعَقِيْدَتَهُ لاَ يَسْمَعُ لِهَؤُلاَءِ (أصحاب الإذاعة)، وَالَّذِي لاَ يُبَالِي يَسْمَعُ

"Barang siapa yang masih menghormati manhaj dan aqidahnya tidak mendengar mereka (radiorodja), yang tidak perduli maka silahkan mendengarkan radiorodja"

          Ini sungguh pernyataan yang sangat berani dari Asy-Syaikh Robi'. Dengan beraninya dia menghukum bahwa yang mendengar radiorodja tidak menghormati manhajnya, dan tidak menghormati aqidahnya !!!. Berarti sungguh ratusan ribu orang tidak menghormati manhaj mereka dan tidak menghormati aqidah mereka??.

Jika hukum ini berlaku bagi yang mendengarkan, lantas bagaimana lagi dengan yang mengisi materi di Radiorodja??!!, lebih-lebih lagi tidak menghormati manhaj dan aqidah !!

Kemungkinan Syaikh Robi' tidak mengetahui hakekat Radiorodja sehingga dengan mudah berfatwa demikian…, menghukumi banyak orang dengan tidak menghormati manhaj dan aqidah !!!. Ini merupakan hal sangat wajar, karena beliau tinggal di Mekah, dan tentu tidak pernah mendengar radiorodja (lagian beliau tidak mengerti bahasa Indonesia). Informasi tentang kesesatan radiorodja semua kembali kepada para sumber berita (para ustadz yang mulia) yaitu :

-         Al-Ustadz Al-Fadhil Luqman Baa'abduh

-         Ustadz Qomar Su'aidi

-         Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi

-         Ustadz Usamah Mahri

-         Ustadz Ayip

-         Ustadz Abdus Shamad Bawazir

Meskipun kita menyalahkan para nara sumber ini –entah informasi apa yang telah mereka sampaikan kepada Syaikh Robi?- , akan tetapi bagaimanapun seharusnya Syaikh Robi tidak asal langsung berfatwa. Bukankah ia bisa bertanya kepada Asy-Syaikh Abdurrazaq, atau Syaikh Sholeh as-Suahaimi, atau Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili tentang Radiorodja…, hanya tinggal menelpon mereka saja, perkaranya sangatlah mudah.



KEDUA : Radiorodja Menyebabkan Sebab Perselisihan Diantara Salafiyin

Demikianlah fatwa yang juga keluar dari Asy-Syaikh Robi' !!. Coba kita renungkan pernyataan Asy-Syaikh Robi' ini…, dan ini sering dijadikan senjata "tumpul" oleh sebagian orang yang memaksakan pendapat mereka. Sehingga mereka selalu berusaha memilih pendapat yang paling keras !!

Seringkali kita mendengar perkataan orang-orang yang memaksakan pendapat mereka "Lebih baik tidak menerima dana dari Ihyaa At-Turots agar tidak berselisih" !!! (padahal banyak fatwa ulama kibar yang membolehkan menerima bantuan Ihyaa At-Turoots)

Nah sekarang mereka kembali bersuara "Lebih baik tinggalkan dan tahdzir radiorodja agar tidak terjadi perselisihan"?

Apakah begini jalan keluarnya?, dengan memaksakan pendapat?, (yaitu pendapatnya Syaikh Robi'?").

Lantas bagaimana kalau dibantah dengan perkataan "Lebih baik tinggalkan fatwa Syaikh Robi' dan mengikuti Fatwa Ulama yang lebih kibar yaitu Syaikh Fauzan, agar tidak timbul keributan"??



Siapakah Sumber Perselisihan Sebenarnya ??

Kalau kita menggunakan logika berfikir kan sebenarnya

-         Yang lebih sedikit harusnya ngalah…demi yang banyak

-         Yang lebih junior (Syaikh Robi') harusnya ngalah kepada yang lebih kibar (Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad dan Syaikh Sholeh Al-Fauzaan)??

Inilah logika yang lebih masuk akal. Akan tetapi yang tidak mendengar dan mentahdzir rodja –dengan jumlah yang sedikit- ingin agar seluruh masyaratkat di nusantara para pemirsa Rodja untuk meninggalkan rodja agar tidak terjadi perselisihan??, justru sikap memaksakan pendapat inilah yang merupakan sumber perselisihan.

Jalan keluar dari perselisihan bukanlah dengan MEMAKSAKAN PENDAPAT, akan tetapi dengan MENGERTI MANHAJ AHLUS SUNNAH DALAM MENGHADAPI PERSELISIHAN, MEMAHAMI FIKIH IKHTILAF !!!



KETIGA : Orang-Orang Awam Harus Dilarang Mendengar Radiorodja

Demikianlah pula pernyataan dari Asy-Syaikh Robi al-Madkholi. Saya terus terang bingung menghadapi fatwa beliau ini.

-         Apakah maksud beliau lebih baik orang awam diatas bid'ah dan syirik daripada mendengar Radiorodja??

-         Apakah Syaikh Robi' menyangka orang-orang awam Indonesia semuanya sudah menjadi salafy sehingga untuk menjaga dan menghormati manhaj dan aqidah mereka akhirnya mereka dilarang untuk mendengar radiorodja?

-         Ataukah kalau mau jadi salafy hanya harus mendengarkan Syaikh Robi' dan para pengikutnya saja??

Fatwa yang membingungkan akan tetapi dianggap sebagai kabar gembira oleh para pengikut Syaikh Robii'.



KEEMPAT : Muwazanah Dalam Memvonis adalah Manhaj Yang Terlupakan !!

          Yang cukup aneh adalah Asy-Syaikh Robi' Al-Madkholi bersikeras untuk menyesatkan dan membid'ahkan radiorodja, padahal telah disampaikan bahwa para pemateri radiorodja juga menjelaskan tentang aqidah salaf.

Dalam fatwa tahdziran Radiorodja –yang ditulis oleh Kholid Dhofiri- disebutkan

لما ذُكر للشيخ بعض المحاضرين فيها وأنهم يقررون مذهب السلف وضَّح الشيخ أن التبديع لا يلزم أن يكون كل ما في المبتدع ضدَّ منهج السلف، وأن يكون كذلك مائة في مائة واضح كالشمس، كسفر وسلمان وعلي حسن وأبي الحسن، وأن يعقوب بن شيبة بدّعه العلماء لشيء واحد، فقد يخرج الرجل عن السلفية بشيء واحد

((Ketika disebutkan, bahwa para pengisi Rodja menetapkan manhaj salaf, maka asy-Syaikh Rabi’ menjelaskan bahwa urusan mentabdi’ seseorang tidak musti bahwa semua yang ada pada diri si mubtadi' bertentangan dengan manhaj salaf, dan kondisinya jelas seratus persen ibarat matahari seperti Safar, Salman, ‘Ali Hasan, dan Abul Hasan. Ya’qub bin Syaibah dibid’ahkan oleh para ‘ulama hanya karena satu perkara. Seseorang terkadang keluar dari salafiyyah karena satu perkara!!))

Demikian juga mengenai fatwa Syaikh Robi' tentang Al-Ustadz Yazid Abdul Qodir Jawas, disebutkan

ذكر الشيخ أنه مجرد يلبس لباس السلفية ولا يرضى الشيخ أن يقال بأنه سلفي سلفي مزعزع

"Asy-Syaikh Rabi’ menyatakan bahwa Yazid hanya sekedar memakai baju salafiyyah. Beliau tidak ridho kalau dikatakan Yazid adalah salafi, ataupun salafi goncang"



Sanggahan :

Pertama : Manhaj Para Ulama Kibar dalam Memvonis adalah dengan Muwazanah !!!

Para ulama kibar tidak serta merta memvonis seorang ahlus sunnah menjadi mubtadi' dan dikeluarkan dari sunnah hanya karena satu atau dua kesalahan. Apalagi kesalahan tersebut hanya masalah furu' dan bukan masalah usul dan aqidah, apalagi hanya karena permasalahan ijtihadiyah.
(Silahkan baca kembali artikel "Muwaazanah… Suatu Yang Merupakan Keharusan…? Iya, Dalam Menghukumi Seseorang Bukan Dalam Mentahdzir !!")



Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Kalau saja setiap orang yang keliru dalam ijtihad, sementara keimanannya benar dan selalu berusaha mengikuti kebenaran, kemudian kita "habisi" dia dan kita nyatakan bahwa ia adalah ahli bid'ah, maka sangat sedikit Imam yang akan selamat....” (Siyar A’lam an-Nubalaa' (XIV/376), pada biografi Ibnu Khuzaimah)

Beliau juga berkata, “Kalau setiap kali seorang Imam bersalah pada ijtihadnya pada sejumlah masalah dengan kesalahan yang ia dimaafkan, lantas kita menyikapinya dan membid’ahkannya serta meng-hajr-nya, maka tidak akan ada yang selamat dari kita, tidak juga Ibnu Nashr –yaitu Muhammad bin Nashr Al-Marwazi-, tidak juga Ibnu Mandah, tidak juga yang lebih besar dari keduanya..., maka kita berlindung (kepada Allah) dari hawa nafsu...” (Siyar A’lam an-Nubalaa' (XIV/40), pada biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi.)

Beliau berkata pada biografi Qatadah rahimahullah, “Mungkin saja Allah memberi udzur kepada orang-orang yang semisal Qatadah, dimana mereka terjatuh dalam perkara bid’ah dengan niat mengagungkan dan mensucikan Allah, sementara ia telah berupaya dan berusaha (untuk mencari kebenaran, pen)... kemudian apabila seorang Imam besar dari kalangan ulama, jika banyak kebenaran padanya, diketahui bahwa ia selalu berusaha mencari kebenaran, ilmunya luas, tampak kecerdasannya, dikenal keshalihannya, sifat wara’-nya dan peneladanannya terhadap Sunnah Nabi `, maka kesalahan-kesalahannya dimaafkan. Kita tidak menyatakan bahwa ia sesat, tidak membuangnya dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya. Kita tidak mengikutinya dalam kebid’ahan dan kesalahannya, dan kita berharap ia bertaubat dari hal tersebut.” (Siyar A’lam an-Nubalaa' (V/271), pada biografi Qatadah bin Di’amah As-Sadusi)

Manhaj muwaazanah dalam menghukumi seseorang telah dijelaskan oleh para ulama kibar, diantaranya :

Pertama : Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah berkata ((“Jika seseorang ingin memberikan penilaian (taqwim) kepada suatu pihak, maka wajib baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan keburukan-keburukannya. Sebab Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maa-idah: 8)

Oleh karena itu, tatkala para ulama mereka membicarakan keadaan seseorang maka mereka menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukannya.
Adapun jika engkau sedang berada pada posisi membantah kesalahan-kesalahannya, maka janganlah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya…. Sebab jika engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya maka akan lemah sisi bantahanmu kepadanya. Bisa jadi orang lain terpukau dengan kabaikan-kebaikannya sehingga ia pun melupakan kesalahan-kesalahan orang tersebut….
Namun jika engkau berbicara tentang orang ini dalam majelis apa saja, lalu engkau melihat bahwa menyebutkan kebaikan orang tersebut ada faedahnya, maka tidaklah mengapa engkau menyebutkannya. Namun jika engkau khawatir timbulnya mudharat maka janganlah engkau menyebutkannya….” Liqaa' al-Baab al-Maftuuh, no (128).))

Beliau juga berkata ((“Ibnu Rajab berkata dalam muqaddimah kitab Qawaa’id-nya, 'Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan seseorang yang sedikit pada kebenarannya yang banyak.' Tidaklah seorang pun mengambil kesalahan dan lupa dengan kebaikan melainkan ia telah menyerupai para wanita. Sebab jika engkau berbuat baik kepada seorang wanita sepanjang zaman lalu ia melihat satu keburukan padamu niscaya ia akan berkata, 'Aku sama sekali tidak melihat kebaikan pada dirimu.' Tidak ada seorang lelaki pun  yang ingin kedudukannya seperti ini, yaitu seperti wanita, yang mengambil satu kesalahan kemudian melupakan kebaikan yang banyak.” (Liqaa' al-Baab al-Maftuuh, no (120), side A)))



Kedua : Syaikh Al-Albani rahimahullah :

Syaikh al-Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid'ah. Jatuhnya seorang ulama dalam perbuatan haram –yaitu menyatakan bolehnya sesuatu yang haram dikarenakan hasil ijtihad-nya- tidaklah berarti ia telah melakukan perbuatan yang haram. Aku katakan, atsar Abu Hurairah yang nashnya menyebutkan bahwa beliau berdiri pada hari Jum’at sebelum pelaksanaan shalat Jum’at untuk memberi nasehat dan mengingatkan orang-orang layak menjadi contoh yang baik bahwa suatu bid’ah terkadang dilakukan oleh seorang ulama, namun bukan berarti ia adalah seorang ahli bid'ah. Sebelum kita lebih dalam lagi untuk menjawab pertanyaan ini, maka aku katakan: Pertama, yang dimaksud dengan ahli bid'ah adalah orang yang kebiasaannya melakukan bid’ah dalam agama. Bukanlah termasuk ahli bid'ah orang yang (hanya) melakukan satu bid’ah, meskipun pada kenyataannya ia melakukan bid’ah tersebut bukan karena lupa, tetapi karena hawa nafsu. Meskipun demikian yang seperti ini tidaklah dinamakan ahli bid'ah. Contoh yang paling dekat dengan hal ini adalah seorang hakim yang zhalim terkadang berbuat adil pada beberapa keputusan hukum, namun tidak dikatakan bahwa ia seorang hakim yang adil. Sebagaimana halnya seorang hakim yang adil terkadang berbuat zhalim dalam bebarapa keputusan hukumnya, namun tidak dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang hakim yang zhalim. Hal ini menguatkan kaidah fiqh Islam bahwa "seseorang itu dihukumi berdasarkan perkara yang dominan padanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan."

Jika kita sudah mengetahui hakikat tersebut, maka kita mengetahui siapakah yang disebut ahli bi'dah, dimana ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid'ah:
  1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
  2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya.

Jika kita mengambil dua syarat tersebut, kemudian kita aplikasikan pada atsar Abu Hurairah sebelumnya, niscaya kita dapati bahwa kedua syarat ini tidaklah terdapat dalam diri Abu Hurairah. Kita katakan, perbuatan beliau benar merupakan bid’ah, karena ia menyelisihi Sunnah –dan akan datang penjelasannya-, namun kita tidak katakan bahwa Abu Hurairah sebagai seorang ahli bid'ah.” (Silsilah al-Huda wan Nuur, kaset no. 785)



Ketiga : Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad

Beliau berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid'ah. Hanyalah dikatakan ahli bid'ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai men-tabdi' orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat.Sebagian orang menyebut setiap yang menyelisihinya sebagai ahli bid'ah.” (Sebagaimana yang beliau sampaikan di masjid Nabawi pada malam Rabu, tanggal 12 September 2005, tatkala menjelaskan Sunan at-Tirmidzi.)

Kami sangat berharap Asy-Syaikh Robi' dalam menghukumi Radiorodja juga mengikuti manhaj para ulama kibar, yaitu dengan menerapkan kaidah muwazanah menimbang antara kebaikan dan keburukan. Karena jika manhaj muwazanah tidak diterapkan maka akhirnya akan menimbulkan tabdi' yang membabi buta tanpa kendali, sebagaimana yang terjadi pada saudara-saudara kita pengagum dan pengikut Syaikh Robi al-Madkholi. Akhirnya…

-         Merekapun saling mentahdzir dan mentabdi' hanya karena permasalahan sepele. Sehingga berulang-ulang mendatangkan syaikh dari luar negeri untuk berdamai, namun akhirnya terulang lagi

-         Bahkan akhirnya syaikh merekapun mentabdi' murid-muridnya..

-         Dan muridnya pun tidak mau kalah, akhirnya syaikhnyapun ia balas tahdzir

-         Demikian juga timbul tahdzir dan tabdi' berantai yang mengakibatkan tali persaudaraan terputus, nilai ukhuwwah ternodakan, gembira jika saudaranya ditahdzir… (baca kembali artikel "Salah Kaprah Tentang Hajr (Boikot) Terhadap Ahlul Bid'ah (Seri 6): Tahdziir dan Tabdii' Berantai Ala MLM (Awas Sururi!!)")



Kedua : Penganalogian Syaikh Robi' terhadap Dua Hal yang Berbeda (Qiyaas Ma`al Faariq)

Syaikh Robi' menjadikan dalil untuk mentabdi' hanya karena satu kesalahan dengan sikap para ulama terhadap Ya'qub bin Syaibah. Sehingga hal ini dijadikan kaidah untuk menghantam dan membid'ahkan Radiorodja !!!.

Adapun sebab Ya'qub bin Syaibah dinyatakan sebagai mubtadi' adalah karena bid'ah yang ia lakukan berkaitan dengan bid'ah aqidah dan menyangkut iman atau kufur. Yaitu Ya'qub bin Syaibah melakukan bid'ah waqf (tawaqquf) dalam masalah al-Qur'an, dan ia melakukan bid'ah ini di zaman fitnah Kholqul Qur'an yang disebarkan oleh Jahmiyah bahwasanya al-Qur'an adalah makhluq. Dan jahmiyah dikafirkan karena pernyataan mereka al-Qur'an adalah makhluq. Sementara Ya'qub bin Syaibah tidak tegas membantah Jahmiyah dan juga tidak tegas menyatakan pernyataan Ahlus Sunnah bahwa Al-Qur'an Firman Allah bukan makhluq.

Adz-Dzahabi berkata dalam pada biografi Ya'qub bin Syaibah bin As-Sholt Al-Bashri (wafat 270 H) :

وقَالَ عَبْد الرَّحْمَن بن يحيى بن خاقان: أمر المتوكل بمسألة أَحْمَد بْن حنبل عمّن يتقلّد القضاء. قَالَ: فسألته، حَتَّى قلت: يعقوب بْن شَيْبَة؟ فقال: مبتدع صاحب هوى.

قَالَ أبو بَكْر الخطيب: وصفه بذلك لأجل الوقف، يعني يقف فِي القرآن فلا يقول: مخلوق ولا غير مخلوق.

"Abdurrahman bin Yahya bin Khaqoon berkata : Al-Mutawakkil (kholifah) memerintahkan untuk bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang siapakah yang pantas menjadi Hakim. Akupun bertanya kepadanya hingga aku berkata : "Ya'qub bin Syaibah?". Imam Ahmad berkata, "Ia adalah mubtadi', pengikut hawa nafsu"

Abu Bakr Al-Khothiib (Al-Baghdaadi) berkata : Al-Imam Ahmad mensifatinya demikian dikarenakan sikap tawqqufnya, yaitu ia tawaqquf dalam permasalahan al-Qur'an, sehingga ia tidak berkata : Al-Qur'an makhluq dan juga tidak mengatakan Al-Qur'an bukan makhluq" (Taarikh Al-Islaam 6/451, lihat juga Taarikh Bagdaad 16/410)

Tentunya merupakan hal yang keliru jika kita menyamakan semua bid'ah dalam satu manzilah/kedudukan. Lantas, sekarang marilah kita menerapkan fatwa (berita gembira) dari Syaikh Robii' ini terhadap Radiorodja.

-         Bid'ah apakah yang telah dilakukan oleh Radiorodja??!!

-         Apakah bid'ah tersebut berkaitan dengan aqidah??!!

-         Apakah kalau seandainya bid'ah dalam aqidah maka apakah aqidah yang prinsip/pokok seperti permasalahan penciptaan Al-Quran?, ataukah tidak sampai pada permasalahan pokok ??!!



Ketiga : Ustadz Yazid hanya jubahnya yang salafi

Disebutkan dalam fatwa :

ذكر الشيخ أنه مجرد يلبس لباس السلفية ولا يرضى الشيخ أن يقال بأنه سلفي سلفي مزعزع

"Asy-Syaikh Rabi’ menyatakan bahwa Yazid hanya sekedar memakai baju salafiyyah. Beliau tidak ridho kalau dikatakan Yazid adalah salafi, ataupun salafi goncang"

Begitu kerasanya Asy-Syaikh Robi' sehingga beliau tidak rido jika Al-Ustadz Yazid dikatakan sebagai salafy goncang !!!. Padahal "salafy goncang" itu sudah merupakan celaan yang keras, ternyata itupun tidak diridoi oleh Asy-Syaikh Robi??. Lantas vonis terhadap ustadz Yazid apakah yang diridoi oleh Asy-Syaikh al-'Allaamah Imam al-Jarh wa At-Ta'dil Robi' al-Madkholi??

Kalau para ustadz pemateri Radiorodja ditabdi' oleh Asy-Syaikh Robi', maka bagaimana lagi dengan tokoh Rodja Yazid bin Abdil Qodir Jawas??.

Apakah syaikh Robi' pernah melihat Ustadz Yazid Jawas??, mendengar ceramahnya?...tentunya vonis dari Asy-Syaikh Robi' ini berdasarkan informasi dari para nara sumber yaitu para ustadz yang mulia (Al-Ustadz A-Fadhil Luqman Ba'abduh cs), Allahul Musta'aan. Semua perkataan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Bukan hanya orang awam yang akan disidang oleh Allah pada hari kiamat, para ustadz nara sumber, dan sang mufti tentunya juga akan disidang…apalagi fatwa yang menimbulkan keresahan (meskipun menggembirakan para nara sumber)!!!



KELIMA : Syaikh Abdurrozaq Ditipu Ataukah Syaikh Robi'??

Dalam fatwa disebutkan :

ما يتعلق بإشراف الشيخ عبد الرزاق البدر على الإذاعة

ذكر الشيخ أنه لا يكون مبررا للاستماع إليها وأنه مخدوع لهؤلاء (التراثيين)

"Yang berkaitan dengan Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr yang mengawasi/membimbing Radiorodja.

Asy-Syaikh Rabi’ menyebutkan bahwa hal ini tidaklah menjadi pembenaran untuk mendengarkan Rodja. Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq tertipu dengan mereka (para turatsiyyin)"

Syaikh Abdurrzzaq sudah hampir 4 tahun memberi ceramah di Radiorodja dua kali dalam seminggu, dan beliau juga sudah 3 kali ke Indonesia memberi ceramah langsung di Indonesia. Saya rasa sungguh bodoh sekali jika dalam waktu yang lama seperti ini dengan seringnya pengisian yang lumayan banyak, ternyata Syaikh Abdurrazzaq masih saja tertipu !!!.

Saya tidak tahu apakah para ustadz Rodja dan para krunya yang pandai berbohong ataukah Asy-Syaikh Abdurrozzaq yang kebangetan terlalu mudah sekali dibohongi.

Mengatakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ditipu selama bertahun-tahun, saya rasa ini adalah tidak pantas. Kenapa Asy-Syaikh Robi’ tidak langsung saja memvonis bahwa Syaikh `Abdurrozzaq adalah Turotsi dan/atau manhajnya berbeda (menyimpang)?

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA



FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA

Oleh: Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.


Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.


Adanya fenomena diatas disebabkan dua hal:
Pertama. Ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.

Kedua, Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini
Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

2. Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

3. Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

4. Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

2. Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

3. Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

4. Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

أَوَّلُ جَيْشٍ يَغْزُو الْقَسْطَنْطِيْنِيَةَ مَغْفُوْرَلَهُ

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.

Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

Dia berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

لاَتَغْضَبْ

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

الْمُوْ مِنُ يُحِبُّ لأَِخِيْهِ مَايُحِبُّ

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata : Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]

Naruto Shippuden eps 361 sub Title Indo Mp4 3gp Avi/Dvd

"Kakashi - Arc Tim 7"










Click Link Download Below:

http://upfile.mobi/470986 Format Mp4 Download Here
http://upfile.mobi/471000 Format 3gp (HD) Download here
http://upfile.mobi/470989 Format Avi/dvd Download here
http://rockdizfile.com/gth0pu8tyk28 Format MKV/pc Download Here




Hope u enjoy it.
Tinggalkanlah pesan/comment

The Hunger Games 2: Catching Fire Full Movie Sub Title Indo Mp4 3gp

The Hunger Games 2: Catching Fire






- Release In   : (USA)
- Quality   :BrRip
- Genre   : Action, Sci-fi, Adventure And Thriller
- Video   : Auto,15fps
- Audio   : Amr, mp3
- Duration   : 2 hours 15 Minutes
- Actor/Actrees   : Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson and Liam Hemsworth
- Director film by   : Francis Lawrence
- Language   : English
- Sub Title   : Indonesian


Click Link Download Below:

*     http://www.tusfiles.net/g7y29y1h57pb Format Mp4 Download here
*     http://usersfiles.com/mrgacdj5pqz6 Format 3gp Download here 



Hope u enjoy it

Upaya Menjaga Kemurniaan Islam, Menyoal Tahdzir Dan Norma-Normanya




Upaya Menjaga Kemurnian Islam, Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya



Pendahuluan
Empat belas abad sudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kita umat Islam. Semakin hari kemurnian ‘ajaran Islam’ semakin keruh akibat tercemar ‘benda-benda asing” (baca: bid’ah dkk.). Ibarat suatu aliran sungai yang telah ribuan kilometer meninggalkan mata airnya; berubah menjadi amat keruh karena telah bercampur dengan sampah-sampah yang dicampakkan ke dalamnya oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Jauh-jauh hari, fenomena ini telah disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« فإنه لا يأتي عليكم يوم أو زمان إلا والذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم »
“Tidaklah datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (HR. Ibnu Hibban (XIII/282 no. 5952 -al-Ihsan). Muhaqqiq Shahih Ibn Hibban menshahihkan hadits ini.)
Maka, sudah merupakan suatu hal yang lazim, jika kita kaum muslimin dituntut untuk berusaha memurnikan kembali ‘ajaran agama kita’, dan membersihkannya dari noda-noda yang telah melekat lama di tubuhnya. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan upaya tashfiyah(memurnikan).
Sebelum menyibukkan diri dengan mentarbiyah (mendidik) umat, kita dituntut untuk terlebih dahulu mentashfiyah ajaran yang di atasnya kita akan mendidik umat ini. Jadi, metode yang tepat adalah tashfiyah dulu baru tarbiyah. (Untuk pembahasan lebih luas rujuk: At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fi Isti’nafi al-Hayah al-Islamiyyah, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.)
Di antara upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk meraih kembali beningnya ajaran Islam; mempraktekkan metode tahdzir.
Definisi Tahdzir
Tahdzir adalah: memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.
Dalil Disyari’atkannya Tahdzir
Banyak sekali dalil-dalil -baik dari al-Qur’an maupun sunnah- yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir, jika dilakukan sesuai dengan norma-norma yang digariskan syari’at.
Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(QS. Ali-Imran: 104)
Ayat di atas menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Kalaupun dia (ahlul bid’ah tersebut) tidak berhak atau tidak memungkinkan untuk dihukum, maka kita harus menjelaskan bid’ahnya tersebut dan mentahdzir (umat) darinya, sesungguhnya hal ini termasuk bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ al-Fatawa (XXXV/414). Lihat pula: Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani: hal. 109-112)
Senada dengan keterangan Ibnu Taimiyah di atas; penjelasan yang dibawakan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah.( Lihat: al-Kafiah fi al-Jadal, hal. 20-21)
Di antara dalil disyari’atkannya tahdzir adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله؛ ينفون عنه تحريف الغالين, وانتحال المبطلين, وتأويل الجاهلين »
“Agama ini diemban di setiap zaman oleh para ulama; yang menyisihkan penyimpangan golongan yang ekstrim, jalan orang-orang batil dan ta’wilnya orang-orang yang jahil.” (HR. Al-Khathib al-Baghdady rahimahullah dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65 no. 51) dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65). Al-’Ala’i rahimahullah dalam Bughyah al-Multamis, hal. 34 berkata, “Hasan shahih gharib”. Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Thariq al-Hijratain, hal. 578 berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan”. Senada dengan perkataan Ibnu al-Qayyim: penjelasan al-Qashthallani dalam Irsyad as-Sari, (I/7). Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah telah mentakhrij hadits ini secara riwayah dan dirayah dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul fi Tashih Hadits al-’Udul, dan beliau menyimpulkan bahwa derajat hadits ini adalah hasan.)
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir (Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah, karya Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah(II/482-488), al-Mahajjah al-Baidha’ karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah (hal. 55-74), ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid syafahullah (hal. 22-29), dan Munazharat A’immah as-Salaf, karya Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah (hal.14-19)) Bahkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan metode tahdzir dalam kehidupannya; entah itu tahdzirterhadap individu maupun tahdzir dari suatu kelompok tertentu.
Di antara contoh praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir suatu individu; tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية »
“Akan muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.” (HR. Ahmad (III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064))
Adapun praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir dari suatu kelompok yang menyimpang, antara lain tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahdzir umat dari sekte Khawarij dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتيل من قتلوا كلاب أهل النار »
“Mereka adalah seburuk-buruk orang yang dibunuh di muka bumi. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang terbunuh ketika memerangi anjing-anjing penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah (I/62 no. 176). Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah (I/76) berkata, “Hasan shahih”)
Praktek Para Ulama dalam Menerapkan Metode Tahdzir
Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah dan membantah mereka merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam agama Islam dalam rangka menjaga kemurnian agama Islam dan menasihati umat agar tidak terjerumus ke dalam kubang bid’ah tersebut.
Di antara keterangan tersebut, perkataan Imam al-Qarafi rahimahullah, “Hendaknya kerusakan dan aib ahlul bid’ah serta pengarang buku-buku yang menyesatkan dibeberkan kepada umat, dan dijelaskan bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran; agar orang-orang yang lemah berhati-hati darinya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Dan semampu mungkin umat dijauhkan dari kerusakan-kerusakan tersebut.” (Al-Furuq, IV/207)
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai; seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf atau mengkritik ahlul bid’ah? Beliau menjawab, “Kalau dia shalat, puasa dan i’tikaf maka manfaatnya hanya untuk dia sendiri, namun jika dia mengkritik ahlul bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin, dan ini lebih afdhal!.” (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam: XXVIII/231)
Dan masih banyak perkataan-perkataan ulama Ahlus Sunnah yang senada. (Lihat: Mathla’ al-Fajr fi Fiqh az-Zajr bi al-Hajr karya Syaikh Salim al-Hilali (hal. 62-77) dan Ijma’ al-’Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid azh-Zhufairi, hal. 89-153)
Berikut ini akan kami bawakan beberapa contoh praktek nyata para ulama kita dari dulu sampai sekarang dalam menerapkan metode tahdzir -baik tahdzir terhadap individu maupun terhadap kelompok tertentu-; supaya kita paham betul bahwa metode tahdzir adalah metode yang ashli(orisinil) dan bukan metode bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. (Tidak semua tokoh yang kami sebutkan di sini berakidah Ahlus Sunnah dalam setiap permasalahan, namun ada sebagian kecil dari mereka yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah dalam berbagai permasalahan. Sengaja mereka kami sebutkan pula, agar umat tahu bahwa metode tahdzir ini juga diterapkan oleh para ahli ilmu di luar lingkaran Ahlus Sunnah, maka amat keliru jikalau Ahlus Sunnah selalu dipojokkan akibat mereka menerapkan metode ini, wallahu a’lam) :
  1. Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma (wafat thn 73 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Qadariyah dengan perkataannya, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” (HR. Muslim, no. 1)
  2. Imam al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dalam kitabnya: “Khalq Af’al al-’Ibad wa ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa Ashab at-Ta’thil.”( Dicetak di Riyadh: Dar Athlas al-Khadhra’, dengan tahqiq Dr. Fahd al-Fuhaid)
  3. Imam ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) ketika beliau mentahdzir dari Bisyr al-Mirrisi dalam kitabnya: “Naqdh Utsman ad-Darimi ‘ala al-Mirrisi al-Jahmi al-’Anid fima Iftara ‘ala Allah fi at-Tauhid.”( Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan tahqiq Dr. Rasyid al-Alma’i)
  4. Imam ad-Daruquthni rahimahullah (w. 385 H) ketika beliau mentahdzir dari ‘Amr bin ‘Ubaid -gembong sekte Mu’tazilah di zamannya- dalam kitabnya “Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab al-Mu’tazili.” (Dicetak di Riyadh; Dar at-Tauhid, dengan tahqiq Muhammad Alu ‘Amir)
  5. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah (w. 430 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dalam kitabnya “Al-Imamah wa ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.” (Dicetak di Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, dengan tahqiq Prof. Dr. Ali al-Faqihi)
  6. Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte al-Bathiniyyah dalam kitabnya “Fadha’ih al-Bathiniyyah.” (Dicetak di Kuwait: Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, dengan tahqiq Abdurrahman Badawi)
  7. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) ketika beliau mentahdzir dari Abu al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil -salah seorang tokoh sekte Mu’tazilah- dalam kitabnya “Tahrim an-Nadzar fi Kutub al-Kalam.” (Dicetak di Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, dengan tahqiq Abdurrahman Dimasyqiyyah)
  8. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) ketika beliau mentahdzir dari al-Bakri -salah seorang tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri.” ( Dicetak di Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, dengan tahqiq Dr. Abdullah as-Sahli)
  9. Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah (w. 751 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dan golongan Mu’athilah dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’athilah.” (Dicetak di Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, dengan tahqiq Dr. Ali ad-Dakhilullah)
  10. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dan orang-orang Zindiq dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl ar-Rafdh wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah.” (Dicetak di Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, dengan tahqiqAbdurrahman at-Turki dan Kamil al-Kharrath)
  11. Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh rahimahullah (w. 1292 H) ketika beliau mentahdzir dari Dawud bin Jarjis -salah satu pembesar sufi di zaman itu- dalam kitabnya“Minhaj at-Ta’sis wa at-Taqdis fi Kasyf Syubuhat Dawud bin Jarjis.” (Dicetak di Riyadh: Dar al-Hidayah)
  12. Imam Abu al-Ma’ali al-Alusi rahimahullah (w. 1342 H) ketika beliau mentahdzir dari an-Nabhani -salah satu tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Ghayah al-Amani fi ar-Radd ‘ala an-Nabhani.” (Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan ‘inayah ad-Dani Zahwi)
  13. Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (w. 1376 H) ketika beliau mentahdzir dari Abdullah al-Qashimi -salah satu tokoh yang terpengaruh pemikiran sekuler di zaman itu- dalam kitabnya “Tanzih ad-Din wa Hamalatih wa Rijalih mimma Iftarah al-Qashimi fi Aghlalih.”(Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi, dengan tahqiq Abdurrahman ar-Rahmah)
  14. Al-’Allamah al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau mentahdzir dari Hasan Abdul Mannan dalam kitabnya “An-Nashihah bi at-Tahdzir min Takhrib Ibn Abdil Mannan li Kutub al-A’immah ar-Rajiihah wa Tadh’ifih li Mi’aat al-Ahadits ash-Shahihah.” ( Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)
  15. Al-’Allamah Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari ar-Rifa’i dan al-Buthi -tokoh-tokoh yang membenci dakwah salafiyah- dalam kitabnya “Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i wa al-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahl as-Sunnah wa Da’watihima Ila al-Bida’ wa adh-Dhalal.” (Dicetak di Kairo: Dar al-Imam Ahmad)
  16. Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Muhammad bin Ali ash-Shabuni -salah satu tokoh sekte Asy’ariyyah abad ini- dalam kitabnya “At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad bi Ali ash-Shabuni fi at-Tafsir.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi)
  17. Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Sayyid Quthb -salah satu tokoh pergerakan Islam yang mengusung pemikiran takfiri- dalam kitabnya “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”( Dicetak di Emirat: Maktabah al-Furqan) dan kitab-kitab beliau lainnya.
  18. Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Hasan as-Segaf -salah satu tokoh sekte Jahmiyah abad ini- dalam kitabnya“Al-Qaul as-Sadid fi ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsim at-Tauhid.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)
  19. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari kelompok-kelompok pergerakan abad ini yang memiliki penyimpangan-penyimpangan, dalam kitabnya“Al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah bi Fahm Salaf al-Ummah.” (Dicetak di Kairo; Dar al-Imam Ahmad)
Dan masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan contoh praktek nyata para ulama kita -tempo dulu maupun di zaman ini- dalam menerapkan metode tahdzir ini.
Tujuan Tahdzir
Sebagian orang mengira bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah tidak sejalan dengan sifat waro’. Mereka tidak sadar bahwa para ulama Ahlus Sunnah sekaliber Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn al-Mubarak, Imam Sufyan ats-Tsauri dan yang lain, mereka juga tidak jemu-jemu untuk senantiasa mentahdzir umat dari ahlul bid’ah. Padahal siapa di antara kita yang tidak mengenal tingginya tingkat ketaqwaan dan derajat kewaro’an mereka?
Barangkali orang-orang tersebut belum mengetahui rahasia besar yang mendorong para ulama kita untuk menerapkan metode ini. Di antara hal-hal yang mendorong penerapan metode ini:
  1. ‘Panah beracun’ yang melesat dari bid’ah mengenai secara langsung ke dalam hati dan merusaknya. Jika hati seorang muslim telah rusak maka dampaknya akan sangat besar terhadap lahiriyahnya.
  2. Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui akan keburukan ahlul bid’ah karena mereka menampakkan keshalihan di hadapan umat. Dan ini amat berbahaya bagi kaum muslimin, karena kenyataannya betapa banyak di antara mereka yang terjerumus ke dalam bid’ah gara-gara tertipu dengan ‘penampilan’ pengusungnya.
  3. Sedikitnya para ulama yang mengetahui bahaya bid’ah dan perinciannya serta berani dan mampu untuk mengupas penyimpangan ahlul bid’ah dengan terperinci, membongkar syubhat-syubhat mereka dan memberantasnya. Maka budaya tahdzir ini perlu untuk dihidupkan dengan norma-norma yang digariskan oleh agama kita. (Lihat kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/493-494 dan Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar: hal. 113-121)
Tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada orang yang keliru dan umat. Memang pahit rasanya bagaikan obat, namun jika kita bersabar untuk ‘menelannya’ niscaya, cepat ataupun lambat, kita akan merasakan manisnya ‘kesehatan’ yang kita dambakan.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa tatkala agama Islam mensyariatkan tahdzir, agama Islam juga telah menggariskan norma-norma tahdzir, agar tidak timbul penerapan tahdzir yang membabi buta yang tidak selaras dengan ajarannya.
Norma-Norma Tahdzir
Tatkala agama Islam telah menjelaskan disyari’atkannya tahdzir, agama kita pun juga telah menjelaskan norma-normanya. Di antara norma-norma tersebut, apa yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah
1. Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran. Di antara konsekwensi ikhlas dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Dan hendaknya pengingkaran tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar dia mendapat petunjuk-Nya. Apalagi jika ia termasuk golongan Ahlus Sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya. Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah berasal dari kaum muslimin yang bertauhid?! (Tentunya dia lebih berhak untuk didoakan).
2. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at yang menjelaskannya serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan, serta sumber munculnya syubhat dalam dirinya, plus mengetahui keterangan-keterangan para ulama yang membantah syubhat tersebut.
Hendaklah orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat. Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak dipahami dari perkataannya kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Atau bisa juga tahdzir itu dilakukan oleh thalibul ‘ilm yang menukil perkataan para ulama, dan dia cermat dalam menukil serta memahami apa yang ia nukil.
Jika tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas niscaya yang akan timbul adalah kerusakan yang besar.
3. Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan, perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran syari’at. Barang siapa yang tidak mencermati atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian/penyepelean), yang mana ini semua akan berakibat tidak bergunanya perkataan dia atau paling tidak manfaatnya akan menjadi kecil.
4. Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyariatkan untuk membantah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat mungkin. Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindari kedua-duanya, maka kerusakan terbesarlah yang harus dihindari”. (Al-Masa’il al-Mardiniyah, hal. 63-64).
5. Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik penyebarluasan bantahan itu dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan suatu bantahan atas kesalahan, berarti secara tidak langsung juga menyebarluaskan pula kesalahan tersebut.
Bisa jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat(kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga tidak merasa puas dengan bantahannya. Jadi, menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengarkan kebatilan lalu memperdengarkan kepada mereka bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang bertemakan bantahan, tapi di dalamnya mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.
Pembahasan yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di daerah yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di daerah yang sama. Maka tidak seyogyanya menyebarkan bantahan -baik melalui buku maupun kaset- di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan terhadap dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
6. Hukum membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama yang lain telah gugur. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan hukum fardhu kifayah. (Lihat: Nashihah li asy-Syabab (hal. 6-8). Ada beberapa tambahan dari kami atas poin kedua, dan hal tersebut telah disetujui oleh Syaikh Ibrahim. Silahkan merujuk pula: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/507-509 dan ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal 53-68 dan 85)
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin meluruskan beberapa pemahaman keliru yang kerap menjadikan sebagian orang merasa enggan untuk menerapkan metode tahdzir.
Di antara pemahaman yang keliru tersebut:
Pertama: Tahdzir adalah menyebutkan keburukan orang lain, dan ini adalah ghibah. Padahal ghibah jelas keharamannya berdalilkan al-Qur’an, hadits dan ijma’. (Di antara para ulama yang menukil ijma’ akan haramnya ghibah: Imam Ibn Hazm dalam Maratib al-Ijma’ (hal. 156), Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 542) dan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (VII/380). Sedangkan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ghibah adalah termasuk kategori dosa besar)
Jawabnya: Penerapan metode tahdzir dari individu atau kelompok yang memiliki penyimpangan, merupakan salah satu bentuk nasehat yang wajib dilakukan. Dan ini tidak termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama Islam.
Imam Ibn Hazm rahimahullah berkata, “Para ulama telah berijma’ akan diharamkannya ghibah, kecuali dalam nasehat yang wajib.” (Lihat: Maratib al-Ijma’, hal. 156)
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam enam kondisi, di antaranya, “Kondisi keempat: (ghibah diperbolehkan) di saat mentahdzir kaum muslimin dari suatu keburukan, serta ketika menasihati mereka. Dan hal ini ada beberapa macam bentuknya … antara lain: jika seseorang melihat seorang santri berangkat belajar pada ahlul bid’ah atau orang yang fasik dan dia khawatir santri tersebut akan terpengaruh dengan keburukannya, maka hendaknya ia menasihati santri tersebut dengan menjelaskan kepadanya hakikat keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik tersebut, (hal ini dibolehkan) dengan syarat tujuannya adalah untuk nasihat.” (Riyadh ash-Shalihin, hal. 561-562)
Oleh karena itu -sebagaimana telah kita jelaskan di atas- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama sesudah beliau pun menerapkan metode ini. Bukankah mereka juga pasti mengetahui bahwa ghibah haram hukumnya? (Untuk pembahasan lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab Mauqif Ahl as-Sunnah min Ahl al-Bida’, (II/481-510))
Kedua: Penerapan metode tahdzir akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Padahal saat ini kita amat butuh untuk bersatu guna melawan musuh-musuh kita.
Jawabnya: Dari beberapa sisi:
1. Selama umat Islam tidak kembali kepada agamanya yang benar, niscaya mereka akan terus menjadi bulan-bulanan musuh mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu sistem riba), kalian mengekor hewan ternak kalian, dan terbuai dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, III/477 no. 3462, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, II/365)
Jadi, sekedar menggembar-gemborkan persatuan antar umat, tanpa meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang murni, tidak akan bermanfaat untuk mengalahkan musuh.
Kalaupun bersatu dalam jumlah yang banyak, namun persatuan itu hanya ibarat banyaknya buih di lautan. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
« يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل »
“Akan tiba saatnya bangsa-bangsa mencaplok kalian, sebagaimana orang-orang yang berebut makanan di dalam nampan. Seseorang bertanya, “Apakah karena saat itu jumlah kita sedikit?”. Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahkan saat itu jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan.” (HR. Abu Dawud (IV/315 no. 4297), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (III/25))
2. Yang kerap menimbulkan perpecahan adalah penerapan metode tahdzir tanpa mengindahkan norma-normanya. Jika ada orang yang menerapkan metode tahdzir tanpa memperhatikan norma-normanya, maka janganlah kita mengingkari metode tahdzirnya; karena metode ini telah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat -sebagaimana telah dijelaskan di atas-. Sikap yang benar adalah: kita tetap menerapkan metode ini, namun dengan memperhatikan norma-normanya, sambil berusaha meluruskan pihak yang keliru dalam penerapannya. Jika metodetahdzir telah dilakukan sesuai dengan norma-normanya insyaAllah tidak akan menimbulkan perpecahan, kecuali dalam satu kondisi yaitu:
3. Orang yang diperingatkan tetap bersikeras dengan kesalahannya. Inilah yang justru menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat. Sudah dijelaskan padanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits, serta perkataan-perkataan para ulama yang menerangkan kesalahan dia, namun masih saja ngotot dengan pendapatnya yang keliru; orang-orang model seperti inilah yang seharusnya dikatakan merusak rapatnya barisan kaum muslimin, bukan orang-orang yang berusaha menerapkan metode tahdzir dengan norma-normanya yang benar.
Wallahu taa’la a’lam. Wa shallalllahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alii wa shahbihi ajma’in…
Daftar Pustaka:
  1. Al-Qur’an dan terjemahannya.
  2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
  3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
  4. Al-Furuq, al-Qarafi.
  5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
  6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
  7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
  8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
  9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
  10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
  11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
  12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
  13. An-Nashihah, al-Albani.
  14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
  15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
  16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
  17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
  18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
  19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
  20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
  21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
  22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
  23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
  24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
  25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
  26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
  27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
  28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
  29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
  30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
  31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
  32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
  33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
  34. Musnad Ahmad.
  35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
  36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
  37. Riyadh ash-Shalihin.
  38. Shahih al-Bukhari.
  39. Shahih Muslim.
  40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
  41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
  42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
  43. Sunan Abi Dawud.
  44. Sunan Ibn Majah.
  45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
  46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
  47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
  48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
  49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.
***
Sumber muslim.or.id